Sdr tentu banyak melalui kisah hujan. Dan ia kemudian menyeret Sdr ke capahan ruang sendiri dan sangat rahsia. Saya pernah kehujanan pada sebuah malam Ramadhan. Kami berjanji untuk berjumpa di ruang iftar. Ya, saya menunggu dan menanti hingga azan berbunyi dan semua pelanggan di rumah makan itu mula menikmati hidangan yang dipesan. Saya masih menunggu dan menanti di penjuru itu dengan segelas air suam ihsan dari pemilik kedai. Ternyata dia terus sepi sedang saya yang masih menanti. Perasaan dungu dan malu hingga saat ini masih saya dapat rasakan. Kemudian saya membelah dingin malam, hujan yang bersatu dengan hawa dalam gerabak mrt (ya, kenangan teman yang mungkir dan tidak peduli akan janji ini berlaku di Temasek), membawa langkah sebak saya pulang ke apartment. Anehnya saya tidak menangis seperti selalu apabila ditinggalkan. Namun hingga sedekad ia berlalu, babak kehujanan, tidak berpayungan, apalagi dengan tiada kepedulian pada janji dan kata maaf, semuanya berhimpun lama. Sesekali ia menziarahi saya apabila kisah yang mirip terjadi lagi. Bersama-sama saya sekarang adalah baris ini, tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Sapardi. Biar saya rahsiakan kisah rintiknya.
Comments
Terima kasih.
Kasihannya Dr menunggu. Latar yang sayu.
Terima kasih. Ya, traumatik. Mengasihani diri sendiri yang menunggu dan menunggu.
Lelah menunggu, tak pasti apakah ia pasti berlaku
atau terusan menunggu.
Terkadang, menunggu itu bawa bahagia namun sering
berakhir ditemani air mata.
Kata almarhum Zubir Ali, penantian suatu siksa yang tidak tertanggung.
Terima kasih.