Lagi foto berulang

Antara keasyikan saya adalah terhadap puisi. Saya membaca puisi hampir setiap hari. Ia antara asuhan untuk saya menulis dengan lebih halus dalam cerpen. Ia antara asuhan untuk saya membaca bahasa sukma manusia. Foto yang memukau ini (terima kasih sedalamnya kepada yang menitip), membawa saya kepada puisi lama Chairil Anwar, Derai-derai Cemara (1949), ya puisi yang sangat purba,

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Seperti puisi, pohon kosong yang semakin mengikat saya di ranting, dahan, tangkai malah kesepuhannya ini, menyimpan banyak ajaran. Ia menawarkan antara celah, rongga dan bacaan batin. Mungkin di banirnya nanti akan saya mahu bersimpuh, bertanya lanjut apa yang dia tahu tentang kalbu manusia yang setiap hari melewati jalannya.  

Comments

Anonymous said…
Benar kata saudara. Meskipun pohon ini seperti hilang mayanya, buat saya hanyalah persis di musim rontok. Beristirehat buat seketika sambil menjadi saksi kepada perjalanan hidup manusia yang menyimpan sedemikian banyak rahsia dalam setiap gerak yang rusuh atau bisu ataupun kaku. Manusia yang melewatinya saban hari juga punya pena'akulan terhadap kewujudan pohon yang punya sisi keindahan yang tersendiri, meskupun tanpa daun.
Mawar said…
Sdr Anonymous
Terima kasih sedalamnya. Fikir kita dalam gelombang yang sama. Dalam "musim luruhnya" dia rupanya menawarkan persahabatan. Indah sekali.